Masih Beragama dengan Kalkulator?

@sangdiyus · 2018-06-06 18:18 · indonesia
![RELIGIONES.png](https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7a/RELIGIONES.png)

Beberapa kali aku mendengar pernyataan bahwa hal fundamental yang menarik minat manusia cuma 2, agama dan seks! Mengapa agama? Mengapa bukan Tuhan? Sebab, Tuhan adalah realitas yang cenderung dipahami sebagai sumber perintah, sementara agama adalah pelembagaan dari perintah Tuhan. Jadi, agama adalah pelembagaan (pengorganisasian) nilai Tuhan.

Celotehku kali ini akan memilah (bukan memisah) antara agama dengan Tuhan. Sebab, tak semua agama bertuhan, dan tak semua kebertuhanan tunduk pada tatanan agama. Menurut Ali Syar’iyati, atheisme adalah agama; hal inilah melandasi argumenku bahwa tak semua keberagamaan selalu bertuhan. Untuk kasus kebertuhanan tanpa agama, sudah diwakili kaum agnostik yang memilih sistem bypass; bertuhan tanpa mau repot terjebak dalam rutinitas beragama bernama ritual-ibadah.

Mengapa pula seks? Sebab, seks dengan orgasme sebagai konsekuensi logisnya menjadi jelmaan sekeping surga berdurasi 5 menit yang bisa dinikmati manusia. Maksudku, 5 menit itu durasi sensasi kenikmatan yang timbul usai orgasme, bukan durasi ‘tempur’. Kalau soal tempur, tergantung kemampuan masing-masing kelamin. Jangan lupa, selain menyandang status sebagai makhluk ritual, manusia juga menjalani lakon sebagai makhluk seksual.

Kenikmatan seksual juga sering digambarkan dalam kitab suci sebagai bagian dari kenikmatan di surga yang akan ‘dipanen’ sebagai bonus tuaian dari ladang amal-ibadah tiap manusia. Nah… semakin kukuhlah premis di awal tulisan ini soal betapa seksualitas dan ketuhanan mempengaruhi pola kebertuhanan kita.

Lantas, kekuatan pendorong kita dalam beragama (kadang juga dalam bertuhan) pun terpengaruh oleh mekanisme ‘berdagang’ dengan Tuhan. Sebagian manusia cenderung beragama dengan hitungan yang sungguh matematis. Misal, beribadah di tempat tertentu nilainya sekian-ribu-kali-lipat dibandingkan dengan beribadah di tempat lainnya.

Tanpa sadar, penganut agama semacam ini akan cenderung perhitungan. Misal, untuk menyebut nama Tuhan dalam ritual tertentu, jumlahnya harus sekian kali. Seakan Tuhan dalam perspektifnya begitu perhitungan dengan jumlah, bukan kualitas amal-ibadah.

Fase Beragama Selanjutnya Pemikiranku timbul dengan segala bentuk reduksi dari rasa hampa saat menjalani bulan Ramadhan. Makin bertambah usia dan tanggungjawab, makin kurang pula gairah dan girang dalam menjalaninya. Ternyata, setelah kukaji-ulang, hasrat menggebu menjalani Ramadhan semata mengejar janji balenan dari PakCik-MakCik dan PakWo-MakWo serta kawan-kawan orangtuaku. Mereka tampak royal membagi rejeki saat Idul Fitri tiba. Sakuku kerap penuh dengan ‘saweran’ dari handai-taulan dan sanak saudara.

Suatu ketika, seorang kawan yang sohor dengan panggilan Tojir mengajukan pertanyaan melalui dinding facebook-nya. Ia me-mention-ku, “Diyus, aku tak percaya para ustadz seleb itu, Macam mana pendapat kau soal orang yang beragama semata-mata soal karena mengejar surga dan menjauhi neraka?” Lebih-Kurang demikianlah pertanyaan si Tojir.

Yah… karena ia bertanya pendapat, maka kuberilah pendapatku soal beragama. Soalnya, pertanyaan si Tojir samasekali tak membebaniku dengan kompetensi pemangku nilai agama. Tentu saja dari perspektifku. “Wak… menurutku, beragama dengan sistem reward and punishment itu cocok untuk anak yang belum akil-baligh. Kalau untuk kita yang berusia di atas itu, landasan beragamanya juga harus lebih keren lah… Misalnya, kita menjalankan perintah bermu’amalah jangan lagi karena pahala atau surga. Sebab, surga-neraka dan pahala-dosa itu sepenuhnya urusan Sang Pencipta. Lebih elok kalau kita menjalani perintah ritual-ibadah dan mu’amalah karena kita sebagai diri menemukan kebahagiaan dan ketenangan. Misal, kalau kau atau aku bersedekah, itu murni karena kita senang berbagi, sedih melihat orang lain susah. Lebih elok lagi jika setelah melakukannya, kita lupa.”

Uraianku berlanjut dengan alasan beribadah (ritual). Meski aku bukan orang yang relijius, saat beribadah, aku berupaya sebisa mungkin untuk menjalaninya tanpa embel-embel pahala dan surga. Juga menjauhi ketakutan tak penting terhadap dosa dan neraka. Aku menjalani ritual agamaku karena aku rindu pada keheningan, saat Tuhan sungguh bertempat dalam diri, mengisi kekosongan dari semunya kegiatan sehari-hari. Memoleh bocel-bocelnya ketulusan dalam bergaul dengan sesama. Saat aku sungguh mengadukan betapa ketenangan terasa menjauh. Ketika itu pula aku menemukan backing terkuat dari segala permasalahan. Hasilnya, sebentuk ketenangan absolut!

Apakah Rugi Beribadah dengan Kalkulator? Sampai hari ini aku belum menemukan pihak yang dirugikan dengan perspektif beragama semacam ini. Aku tak pernah menemukan korbannya. Namun, secara pribadi aku telah menemukan sendiri bahwa beragama dengan kalkulator telah menghadirkan kegersangan saja adanya. Kutemukan sendiri pula, bahwa menjalani ritual-ibadah sesungguhnya lebih untuk menguatkan diri sendiri, bukan menguatkan Tuhan yang kita sembah.

Pencarian Ibrahim ‘Alaihissalam atas Causa Prima semesta sesungguhnya menuntun manusia untuk mencari acuan nilai pergaulan hidup antar-manusia. Berhala yang ditentang oleh ketauhidan yang ditemukan Ibrahim adalah wujud betapa korupnya tatanan masyarakat di bawah pemerintahan Raja Namruj; premis ini kuajukan bagi tiap orang yang sepakat dengan betapa simboliknya bahasa Al-Qur’an. Namruj mendoktrin ketuhanan yang menyandarkan nilai pada benda mati. Tindakan tersebut telah menempatkan Sembahan mereka sebagai sesuatu yang membutuhkan sokongan berupa sesaji, dupa dan mantera. Sembahan yang membutuhkan sesuatu dari hambanya, bukan sembahan yang mandiri sebagaimana mestinya…

Aku tak hendak menyalahkan perspektif beragama dengan kalkulator. Lebih dari itu, aku semata ingin mengajak tiap diri kita mencermati sebuah tawaran; Perspektif yang salah tentang ketauhidan akan menimbulkan pemberhalaan. Singkatnya, kesalahan mengasumsikan ketuhanan dan kebertuhanan kita justru cuma akan menghadirkan pola pemberhalaan baru, bukan pola kebertuhanan yang menjadi pembebas bagi mereka yang lemah dan tertindas.

Sebab, tiap orang yang menggunakan perspektif kalkulator dalam beragama berisiko memonopoli angka-angka, dengan memonopoli nilai ketuhanan berdasarkan standard kekuatan perekonomian, bukan kekuatan menghayati nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Tuhan. Atau, kita lebih percaya dengan ungkapan Pythagoras yang menyatakan bahwa segalanya adalah angka?

#indonesia #aceh #ocd-resteem #writing #religion
Payout: 0.000 HBD
Votes: 44
More interactions (upvote, reblog, reply) coming soon.
Eco Bank Development

A sustainable digital wallet and profile platform.

© 2025 Eco Bank Development. All rights reserved.

Sustainable Secure