
Aku tak suka karet. Aku benci karet. Mungkin itu lebih jelas dan tegas untukmu. Meski saat SD pernah bermain panah karet. Sekurangnya ada 3 permainan yang kutau menggunakan karet. Panah karet, ketapel, ketapel karet gelang dengan picu dari plastik bekas es lilin. Usai menyelenggarakan permainan yang menggunakan karet, biasanya aku mencuci tangan dengan lumpur, cuma lumpur yang mampu melenyapkan aroma celaka itu dari kulitku.
Meski karet terlibat dalam menyelenggarakan sambal, pada spatula yang dipakai Mamak saat memufakatkan serpih bumbu ke bagian pinggir saat menggilas cabe dan bawang di cobek batu. Apalagi kalau Mamak menggiling sambel terasi kesukaanku. Kegelisahan yang bukan kaleng-kaleng adanya. Sebab, semakin hari spatula itu kian menipis saja lebarnya. Semakin genting membentuk cekungan ke bagian tengah. Itu berarti sebagiannya tergerus saat mengeruk seluruh bumbu tiap kali Mamak menggiling. Artinya bahwa sebagian dari karet itu telah masuk ke tubuhku.

Aku benci karet karena baunya yang tak sedap. Tak ada gema pada ujungnya. Kandas. Tumpat. Bau yang menjadi sebentuk kubang dalam benak. Berkitar. Jumud. Bercokol seperti anjing malam menggaungkan lolong ke udara. Membuncahkan akal hingga tak kuasa memegang kendali diri. Tak perlu menyiksaku dengan tonjok dan tinju, cukup hidukan aromanya ke dekat hidungku. Akan kuungkap segala yang ingin kau tau.
Aku heran saat Anto, sobat kentalku di SDN Impres Bukit Batu Tiga, mengunyah karet hingga terputus sependek tahi belalang. Jidatku mengernyit membayangkan aroma menjijikkan itu masuk ke dalam mulut. Menguar, berpadan liur. “Khoaekkk… cuih!” aku langsung meludah dan menyuruhnya meludahkan karet yang tengah bercokol di mulut kawanku itu. Perintah yang sesungguhnya otoriter, karena sudah mengintervensi kuasanya atas tubuh sendiri bersebab kejijikanku semata.
Meski nyaris tiap perjalananku berlandas karet di ‘kaki’ kendaraan –pada ban yang mengalasi roda– aku tetap tak bisa menerima aromanya. Terutama saat aroma gesekan aspal dengan lapisan karet di ban menelusup ke hidung. Membayangkannya saja telah mampu membangkitkan sebaris kerut di bentang jidat.
Karet sebagai penguat nyala api dari pemantik kutemukan saat sering mendaki gunung. Aku lebih memilih membawa galih, bagian kayu damar yang paling berminyak sebagai penguat nyala pembakaran. Jika cuma ada karet sebagai penguat nyala, aku lebih memilih menggerus kayu yang masih basah menjadi serpih. Bau karet tanpa imbuhan apapun saja sudah sungguh mengganggu, konon lagi ketika ia terbakar dan menguarkan inti aroma. Na’udzubillahi mindzalik…
Saat belajar gitar, karet hadir sebagai finger exerciser. Tak bisa kutolak. Sebab saat itu aku tak tau ada alat pengganti karet. Tak ada pilihan. Maka kupermaklumkan saja aroma itu hingga sepanjang 8 jam tiap hari aku mesti menahan mual atau sekedar menelengkan kepala. Menghindari aroma yang paling mengganggu frekwensi gelombang otakku. Demi melantunkan sejudul saja lagu untuk engkau, kujeda ini benci. Memainkan jemari di atas fret dengan 4 jemari terbelenggu oleh benda beraroma paling memuakkan bagiku.
Namun, bukan itu sebab aku tak ingin ada karet mengantarai senggama kita, Kekasih…
Ketika bersatu tubuh untuk memadu jiwa dan merangkai kasih, aku tak ingin ada apapun di antara kita. Tiada jarak tercipta. Walau tersedia dengan aroma segar bebuahan, meski sudah ada kondom setipis kulit bawang, atau kulit-ari-salak sekalipun, aku akan tetap memandangnya sebagai jarak setebal tembok China. Entah itu dilingkup nikah atau di lingkung zinah!
![]()